Menggadaikan Sertifikat Rumah Demi Tahlillan


Kisah ini sudah lama berlalu dan teringat lagi karena akhir-akhir ini banyak kompasianers yang mengangkat tema tahlilan, entah kenapa.  Saat itu salah seorang tetangga saya datang bertamu dan menyodorkan sertifikat rumahnya kepada saya. Dia ingin meminjam uang dengan jaminan sertifikat rumahnya untuk biaya tahlillan meninggalnya ibundanya. Tentu saja saya tidak setuju dan berusaha menasehatinya. Bahwa tidak baik memaksakan diri sendiri. Bahwa selamatan kematian itu tidak ada hukumnya dalam Islam (atau ada…?). Bahwa Rasulullah bersabda: “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim).

Selanjutnya saya sarankan jika tidak punya biaya sebaiknya berdoa sendiri saja di rumah, tidak perlu mengundang-undang tetangga. Dan seperti yang dapat diduga, tetangga saya menolak nasehat saya. Dia bilang itu adalah bakti terakhir dia kepada ibunya yang wajib dia lakukan, (dan saya yakin bahwa itu pasti bukan alasan yang sebenarnya). Dan karena saya benar-benar tidak setuju, maka saya menolak permintaannya, dan hanya memberikan sumbangan sekedarnya saja. Sebagai catatan tambahan, tetangga saya tersebut tidak mempunyai pekerjaan tetap.

Mengenai tahlillannya sendiri, saya sangat setuju. Tahlilan itu sangat bermanfaat. Rasulullah SAW bersabda; “Jika kalimat la ilâha  Illa Allâh ditimbang dengan langit dan bumi niscaya kalimat tahlîl itu akan jauh lebih berat timbangannya”. Demikian juga dengan silaturahmi dan menghibur orang yang kesusahan, saya sangat setuju. Manfaat silaturahmi sangat banyak, semua orang mengetahuinya. Demikian juga dengan menghibur orang yang sedang kesusahan. Dan tahlillan adalah salah satu sarana yang bagus untuk bersilaturahmi sekaligus menghibur orang yang sedang kesusahan. Mengenai selamatan kematian… 7 hari pertama, 40 hari, 100 hari, 1000 hari… entahlah… saya pikir itu tidak ada hukumnya dalam Islam. Saya tidak dalam posisi pro atau anti selamatan.

Yang saya prihatinkan adalah apa yang terjadi kepada tetangga saya itu. Kebiasaan masyarakat kita adalah malu dibilang orang miskin, padahal jelas-jelas memang miskin. Dan karena malu dibilang miskin, maka rela melakukan tindakan yang bisa membuatnya bertambah miskin. Persis seperti tindakan para koruptor, yang malu dibilang miskin lalu korupsi, dan akibatnya semakin miskin saja hati dan jiwanya, (maaf agak melenceng dari topiknya…). Tidak bisakah umat muslim yang begitu banyaknya ini mencontoh panutannya yaitu Rasulullah yang hidupnya sangat sederhana tapi kaya dengan hati dan iman?

Apa yang terjadi pada tetangga saya itu adalah tipikal orang-orang yang berniat baik tetapi salah dalam cara pelaksanaannya. Ini seperti menempatkan hal yang baik di tempat yang salah atau kurang baik. Dan ini saya rasa bukan hanya terjadi kepada tetangga saja, dan juga bukan pada perkara selamatan kematian saja, contoh lain: naik haji dengan menjual sawah ladang. 

Adalah tugas dari para ulama untuk meluruskan hal-hal seperti ini. Menurut saya, ulama, ibaratnya seorang chef atau koki, seharusnya tidaklah hanya mengajarkan cara memasak makanan, tetapi juga bagaimana cara menyajikan makanan tersebut. Alangkah sia-sianya jika ada makanan yang lezat, tetapi disajikan di atas piring yang kotor. Maaf jika perumpamaan ini kurang pas. Semoga tidak ada lagi orang yang menggadaikan rumahnya hanya untuk selamatan kematian. Alangkah sia-sianya.

Mohon maaf jika ada salah kata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

[Ke Atas]